Sabtu, 19 Maret 2011

Tak Ada Milik yang Sempurna

eramuslim - Rencana. Hidupku penuh rencana. Meskipun belum semuanya bisa aku
rencanakan. Tapi pasti bukan hanya aku yang punya rencana. Aku yakin semua orang
juga punya rencana.

Bagiku, memiliki rencana berarti harus sekaligus mempersiapkan
alternatif-alternatif. Mungkin sama dengan yang dimaksud para pelaku bisnis Ada
plan A, plan B, plan C dan seterusnya. Tetapi menurutku itu saja tak cukup.
Harus ada plan Z. Artinya, harus ada kesiapan ketika semua yang ada di kepala
tidak bisa berlaku lagi. Seperti pesimisme. Mungkin. Tetapi bukannya segala bisa
terjadi atas kehendak-Nya. Maha besar Dzat yang segala berada di tangan-Nya.
Ku pasang target-target. Dengan begitu otomatis aku menyusun rencana agar target
tersebut bisa tercapai. Berusaha, yah, hanya dengan berusaha. Berusaha maksimal.
Tak boleh ada kata putus asa. Aahh, begitu besar semangatku.

Kalau dengan usaha maksimal kita tidak bisa mencapai target? Ya itulah plan Z.
Menyerah? Bukan! Masih ada harapan. Ditangan-Nya lah semua yang tak mungkin
terjadi bisa terjadi. Bahagianya, masih mempunyai tempat berharap. Kalau yang
terjadi tidak seperti yang kita inginkan? Ya itulah takdir. Terlalu sombong kita
bila ingin memaksakan keinginan kita melampaui kehendak-Nya. Qona'ah. Mungkin
itulah istilah yang lebih tepat.

Kita hanya bisa memohon agar apa yang diberikan-Nya kepada kita menjadi hal
terbaik demi keselamatan kita di tempat yang abadi. Bukankah kita sering tidak
melihat apa hikmah di balik peristiwa yang tidak kita kehendaki? Bukankah kita
tidak bisa melihat, kecuali hanya sedikit? Begitu rapi teori itu tersusun di
kepalaku. Kalau ada teman bertanyapun mudah sekali menjelaskan alurnya. Tapi
bisakah menghadapinya?

Demikianlah, termasuk berumah tanggapun aku targetkan. Dengan berbagai
pertimbangan, aku ingin menikah pada usia 25, setelah menyelesaikan studiku dan
tentu saja bekerja. Kukira keinginan semacam ini hanyalah cita-cita sederhana.
Mungkin hampir semua orang juga memilikinya. Bukan hal yang luar biasa.
Ketika usiaku menginjak 23 dan aku belum juga mempunyai calon. Meski beberapa
kali ada yang mengutarakan keinginannya menikah denganku, entahlah, tidak ada
diantara mereka itu yang sesuai dengan kriteriaku. Belum ada yang bisa membuatku
jatuh cinta. Jatuh cinta? Apa pula artinya? Sangat mungkin berbeda dengan orang
lain. Tetapi bagiku cukup sederhana untuk mengukur apakah aku jatuh cinta atau
tidak: yaitu perasaan bisa menerima dia apa adanya tanpa ada tuntutan-tuntutan
lagi. Dengan kata lain, semua kriteriaku sudah terpenuhi. Yah, aku belum pernah
jatuh cinta.

Maka aku bersiap-siap mencari calon. Pro-aktif. Tentu dengan kriteria-kriteria
yang telah kutetapkan. Tabu kata orang timur? Mengapa? Tapi bagaimanapun aku
juga menyadari hidup dalam masyarakat timur, yang mau tak mau masuk ke dalam
norma-normanya. Kukira tabu yang mereka maksudkan tidak berseberangan dengan
syariat Islam. Bahkan mungkin dalam hal tertentu bisa dikatakan mendukung. Di
sisi lain, bagiku semua orang diwajibkan berusaha. Jadi bisakah istilah tabu
tersebut direkayasa?

Yang pasti, bukan pertanyaan itu yang menggelayuti pikiranku. Tapi apa yang bisa
kulakukan untuk mencapai targetku. Silaturahim? Memperbanyak wawasan?
Perprasangka baik? Memperbaiki akhlak? Semua ingin kulakukan demi mencapai
target dengan kriteriaku tersebut.

Sampai suatu sore yang begitu cerah dan lengang. Tenang mungkin istilah yang
tepat. Awan-awan putih menyibak ketepi mengiringi matahari yang pelan-pelan
bergerak semakin condong ke peraduannya. Tenang. Hatikupun terasa bening. Luas.
Terasa luas dengan menyibaknya awan-awan putih ke tepi langit. Yang pasti
begitulah sore itu.

Tapi sepertinya bukan hanya suasana sore itu yang membuat hatiku bening. Aku
sedang menyadari bahwa aku sedang jatuh cinta. Indah rasanya menemukan seseorang
yang kita inginkan. Kurasa betapa ini semua adalah nikmat yang agung. Dua puluh
empat tahun, dan aku belum pernah mempunyai perasaan semacam ini. Ah, sungguh
indah.

Dalam lubuk hatiku menggelitik kemungkinan-kemungkinan dan harapan- harapan.
Bisakah aku mencapai target yang satu ini. Yang jadi masalah adalah bahwa dia
tidak tahu perasaanku ini. What to do? Menunggu? Waktu segera memisahkan.
Begitulah, karena sore itu adalah akhir sebuah program yang mengikutsertakan
kami.

Berharap? Ternyata aku tidak berani berharap banyak. Aku cukup mensyukuri
mempunyai perasaan yang indah ini. Jujur, aku merasa tidak harus memilikinya.
Do something! Yah, tapi aku harus melakukan sesuatu. Terlalu indah untuk
dilewatkan. Terlalu indah untuk mempunyai perasaan ini. Bahkan aku tak yakin
akan memiliki yang ke dua kalinya. Maka di sore yang bening itu. Kutulis sehelai
puisi. Hanya untuk menyampaikan perasaan ini.

Maafkan aku harus menyampaikan semua ini. Kau telah melelehkan hati yang selama
ini membeku, kaku, membatu. Tapi aku hanya ingin kau tahu. Kau tak harus
mempunyai perasaan yang sama.

Begitulah kira-kira isinya. Dengan hati bening pula kusampaikan padanya dalam
sebuah amplop dan kuminta dibacanya ketika sampai di rumah. Bukan di tempat itu.
Begitulah, rasanya nyaman bisa menyampaikan perasaan indah ini. Tanpa harapan
sama sekali? Bohong kalau kukatakan begitu. Ada, meskipun tidak banyak.
Logikanya, mungkin juga dia mempunyai perasaan yang sama, tapi tidak berani
menyampaikan. Who knows? Tapi juga harus diakui bahwa harapanku memang tidak
menggebu-gebu.

Benar ternyata logikaku. Keesokan harinya dia mencariku dan mengatakan bahwa dia
telah mempunyai perasaan yang sama jauh sebelum aku mengatakannya. Oh, bisa
dibayangkan, sebuah keindahan yang hampir sempurna. Bagaikan gayung bersambut.
Sayang kami tidak mempunyai waktu bersama lagi. Sayang? Tidak juga. Justru takut
juga dengan kebersamaan. Takut fitnah. Takut zina mata, lidah dan lainnya.
Hari-hari aku lewati dengan rencana-rencana selanjutnya. Dan pertemuan beberapa
kali kami gunakan untuk bicara tentang masa depan dan makna hidup.
Sungguh-sungguh indah.

Sampai setelah kami tidak bertemu beberapa waktu, dia harus menyampaikan- nya
padaku. "Sayang ya dik, tidak ada sesuatupun yang bisa mutlak kita miliki. Hanya
Allahlah pemilik yang sempurna," katanya seperti biasa, bijaksana, dan ini
adalah salah satu yang aku kagumi padanya. "Ya, tidak ada milik yang sempurna,"
jawabku menyetujui pendapatnya, "Eh, tapi apa sebenarnya maksudmu".
"Maafkan aku. Tapi aku harus mengatakannya padamu. Terlalu indah memiliki semua
perasaan ini. Tapi aku harus jujur padamu. Aku juga tidak menghendakinya, tapi
itulah yang terjadi," katanya panjang. Aku sudah tak sabar dengan apa yang ingin
dikatakannya. "Maksudmu?" "Kau tahu kenapa aku tidak menyampaikan perasaanku
terhadapmu sejak dulu? Karena!.karena sebenarnya aku sudah dijodohkan," katanya
perlahan. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. "Menurutmu apakah orang tuaku
salah?" tanyanya kemudian. Aku masih diam.

"Ibuku hanyalah seorang janda yang harus menghidupi dan menyekolahkan
anak-anaknya. Dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Begitulah dik, aku tidak
bisa menyalahkan ibuku juga, meskipun jujur aku tidak mencintai gadis itu".
Kuhela nafas dalam-dalam. Sungguh tak tahu apa yang harus kulakukan. Tak percaya
dengan apa yang dikatakannya? Tak ada alasan untuk percaya atau tidak. Tetapi
kurasa aku tak perlu berburuk sangka dengan tidak mempercayainya. Dia yang
kukenal selama ini lebih menguatkan prasangka baikku itu. Tapi sungguh aku tak
bisa bicara sepatahpun. Percakapan itu terasa membakar semua harapanku, meskipun
tidak mengurangi perasaanku padanya.

Akhirnya kukatakan pula dengan segenap kekuatan hatiku agar dia memilih yang
terbaik menurutnya. Berat ternyata, tidak semudah teori yang kutata di kepala.
Begitulah, semua kami akhiri dengan sehelai surat cinta. Dengan setengah
kesadaran, setengah patah semangat.

Plan Z. Aku masuk ke plan Z. Biarlah Allah yang memutuskan. Dia maha tahu yang
terbaik untukku. Meskipun dia tak boleh jadi milikku, perasaan itu tetap masih
menjadi milikku, kecuali dia berubah menjadi seseorang yang tidak lagi berada
dalam kriteriaku.

Selamat jalan kekasihku. Semoga kita mendapatkan yang terbaik bagi dunia dan
akherat kita kelak. Bukankah kita hanya sedikit melihat. Dan Allahlah yang Maha
mengetahui segalanya dan maha berkehendak. Benar katamu, tidak ada milik yang
sempurna. Allahlah pemilik mutlak atas segala. Orang tua kita, saudara kita,
anak-anak kita, suami/istri kita, kekasih kita, kekayaan kita, semua milik-Nya.
Ketika Allah mengambilnya, siapa yang bisa bilang tidak.

tanti sutrisno
tantitan2003@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar