Sabtu, 19 Maret 2011

Sedemikian Keraskah Hati Ini?



eramuslim - Di dalam perjalanan menuju kantor, saya terlelap menikmati sejuknya
udara dalam bis. Tak terasa hingga kondektur bis membangunkanku untuk menagih
ongkos, dengan mataku yang masih merejap kuulurkan sejumlah uang untuk membayar
ongkos bis. Dan ... samar mataku menangkap sosok seorang ibu setengah baya
berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Tapi, rasa kantuk dan lelah ku mengalahkan
niat baik untuk memberikan tempat duduk untuk ibu tersebut.
Turun dari bis, baru lah sisi baik hati ini bergumam, "Andai saya berikan tempat
duduk kepada ibu tadi, mungkin pagi hari ini keberkahan bisa kuraih". "Siapa
tahu ridha Allah untuk ku di hari ini dari doa dan terima kasih ibu itu jika
saja kuberikan tempat dudukku ..." Ah, kenapa baru kemudian diri ini menyesal?

Semalam dalam perjalanan pulang dengan kereta api, duduk di hadapan saya seorang
bapak berusia 40-an. Lewat seorang penjual air minum kemasan, dan ia segera
menyetopnya untuk membeli. Tangan kirinya memegang segelas air minum kemasan
sementara tangan satunya merogoh-rogoh kantongnya. Sesaat ia memperhatikan
beberapa keping yang ia mampu raih dari bagian terdalam kantongnya, ternyata ...
ia mengembalikan segelas air minum kemasan yang sudah digenggamnya kepada
penjual air sambil menahan rasa hausnya.
Saya yang sedari tadi di depan bapak itu hanya bisa menjadikan serangkaian
adegan itu sebagai tontonan. Tidak ada tawaran kebaikan keluar dari mulut ini
untuk membelikannya air minum, meski di kantong saya terdapat sejumlah uang yang
bahkan bisa untuk membeli dua dus air minum kemasan! Bayangkan, cuma 500 rupiah
yang dibutuhkan bapak itu tapi hati ini tak juga tergerak?

Kemarin, sebelum Isya, juga dalam perjalanan pulang. Hanya berjarak 200 meter
dari kantor, saya melewati pemandangan yang menyentuh hati. Di pinggir jalan
Wijaya, Jakarta Selatan, sekeluarga pemulung tengah menikmati penganan kecil
berbuka puasa mereka. Suami, istri beserta dua anaknya itu tetap lahap meski
yang mereka nikmati hanya sebungkus kue -entah pemberian siapa. Sempat langkah
ini terhenti setelah tujuh atau delapan langkah melewati mereka, sempat pula
saya berpikir untuk menghampiri keluarga itu untuk sekadar mengajak mereka
makan. Tapi ... bayangan ingin segera bertemu anak-anakku di rumah mengalihkan
langkahku untuk meneruskan perjalanan.



Padahal, dengan uang yang saya miliki saat itu, sepuluh bungkus nasi goreng pun
bisa saya belikan. Apalagi jumlah mereka hanya empat kepala. Dan kalau pun harus
tergesa-gesa, toh semestinya saya bisa memberikan sejumlah uang untuk makan
mereka malam itu, atau juga untuk sahur esok hari. Duh, kenapa kaki ini justru
meneruskan langkah sekadar untuk memburu kecupan kedua putriku sebelum mereka
tidur?

Pagi ini. Saya coba renungi semua perjalanan hidup ini. Ya Tuhan, sudah
sedemikian keras kah hati ini? Sehingga tanpa rasa berdosa kulewatkan begitu
banyak kesempatan berbuat baik. Bukankah selama ini saya selalu berdoa agar
Engkau memberikanku kemudahan untuk berbuat baik terhadap sesama? Tetapi ketika
Engkau berikan jalan itu, saya malah melewatkannya.
Berikan kesempatan itu lagi untukku, Tuhan.
Bayu Gautama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar